Skip to main content

Di Manakah Alloh? (1) Membongkar Kebohongan Wahhabi Atas Nama Imam Abu Hanifah

Di Manakah Alloh? (1) Membongkar Kebohongan Wahhabi Atas Nama Imam Abu Hanifah,- Sudah menjadi rahasia umum bahwa Wahhabi gemar membuat kebohongan untuk membenarkan ajaran mereka termasuk masalah Di manakah Alloh?. Artikel ini akan Membongkar Kebohongan Wahhabi Atas Nama Imam Abu Hanifah yang konon katanya meyakini Alloh berada di atas langit. 

Salah satu artikel yang ditulis oleh ustad Wahhabi, Ustad Muhammad Abduh memuat Kebohongan Wahhabi Atas Nama Imam Abu Hanifah. Dalam artikel itu dikatakan bahwa Imam Abu Hanifah dalam kitab Fiqih akbar berkata "Barang siapa yang mengingkari keberadaan Alloh di atas langit, maka ia kafir."

Berikut screen shotnya:

Di Manakah Alloh (1) Membongkar Kebohongan Wahhabi Atas Nama Imam Abu Hanifah


Tanggapan:


Setelah melakukan penelitian, sekalipun hanya kecil-kecilan, saya menemukan banyak sekali kebohongan sang ustad wahhabi ini. Di samping itu ternyata perowi yang meriwayatkan perkataan Imam Abu Hanifah adalah perowi dho'if. 

Kebohongan Wahhabi Pertama


Mengenai pernyataan Imam Abu Hanifah yang kata Ustad Muhammad Abduh dinukil dari kitab Fiqhul Akbar, bahwa beliau berkata "Barang siapa yang mengingkari keberadaan Alloh di atas langit, maka ia kafir", maka sesungguhnya Ustad Wahhabi ini telah melakukan kebohongan. Dalam kitab Fiqhul Akbar tidak ada pernyataan seperti itu.

Redaksi tersebut adanya dalam kitab Itsbatu Shifatil Uluw {1/116-117} karya Ibnu Qudamah Al-Muqoddasi, Kitab At-Tuhfah Al-Madinah {1/87} karya Hamad Bin Nashir Bin Umar dan Kitab Syarah Qosidah Ibnul Qoyyim {1/448} karya Ahmad Bin Ibrohim Bin Isa. 

Saya menduga Ustad Wahhabi ini tidak merujuk ke kitab Fiqhul Akbar Secara Langsung. Tetapi Ia merujuk kitab Itsbatu Sifati Shifatil Uluw. Berikut teks dalam kitab tersebut:

وبلغني عن ابي حنيفة رحمه الله انه قال في كتاب الفقه الأكبر من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر 

Artinya: "Telah sampai kepadaku dari Abu Hanifah bahwa beliau berkata dalam kitab Fiqhul Akbar: barang siapa yang mengingkari Alloh berada di langit maka sesungguhnya ia kafir."

Sayang sekali Sang ustad Wahhabi melakukan kebohongan ilmiah. Dia tidak jujur dalam menukil redaksi. Dia hanya menukil matannya saja sebagai berikut:

من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر

Sang ustad Wahhabi tidak mencantumkan kalimat balaghoni (وبلغني). 

Mengapa? 

Sebab ia tahu bahwa sighot balaghoni menunjukan riwayat semacam ini tidak shohih. Dalam kitab Ma'rifatu Ulumil Hadits {1/56}, Abu Abdillah Muhammad Bin Abdulloh Al-Hakim An-Naisaburi berkata:

ومن شرائط المسند أن لا يكون في إسناده ( أخبرت عن فلانة ) ولا ( حدثت عن فلان ) ولا ( بلغني عن فلان ) ولا ( رفعه فلان ) ولا ( أظنه مرفوعا ) وغير ذلك ما ينفسد به ونحن مع هذه الشرائط لا نحكم لهذا الحديث بالصحة

Artinya: "Sebagian dari syarat musnad (sambung) (1) hendaknya di dalam sanadnya tidak ada (kata) Akhbartu 'an fulan, Hadatstu 'An fulan, BALAGHONI 'AN FULAN,........ Kami dengan syarat-syarat ini tidak menghukumi shohih terhadap hadits ini."

Kebohongan Wahhabi Kedua


Saya menduga, sang Ustad Wahhabi ini tidak merujuk pada kitabnya secara langsung. Tetapi ia hanya menukil dari kitab Al-Uluw kaya Adzdzahabi atau Mukhtashor Uluw yang ditahqiq oleh Al-Bani. Ini bisa kita lihat dari redaksi yang digunakan. 

Dalam kitab Fiqhul Akbar menggunakan redaksi berikut:

 قَالَ ابو حنيفَة من قَالَ لَا اعرف رَبِّي فِي السَّمَاء اَوْ فِي الأَرْض فقد كفر 

Sedangkan dalam kitab Al-Uluw menggunakan redaksi sebagaimana yang ditulis oleh sang ustad dalam artikelnya seperti berikut:

سألت أبا حنيفة عمن يقول : لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض . قال : قد كفر 

Redaksi seperti ini juga tertera dalam kitab Itsbatul Uluw, At-Tuhfah AL-Madinah, Syarah Qosidah Ibnul Qoyyim, Ma'arijul Qubul, Jami'ur Rosa'il, dan lain-lain. 

Apapun itu, yang jelas riwayat itu tidak bisa diterima. Sebab bersumber dari perowi dho'if. Riwayat tersebut bersumber dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy. 

Untuk mengetahui apakah riwayatnya shohih atau tidak, kita perlu merujuk ke kitab-kitab jareh wat ta'dil. Saya rekomendasikan agar anda membuka kitab Lisanul Mizan karya Ibn Hajar Al-Asqolani (W. 852 H). 

Dalam kitab Lisanul Mizan {3/246} dijelaskan bahwa Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy adalah murid Imam Abu Hanifah. Setelah menjelaskan biografinya, Ibn hajjar Al-Asqolani menukil komentar para ulama terkait Abu Muthi’, sebagaiberikut:

Ibn Ma'in berkata: tidak memiliki apa-apa. 
Murroh berkata:  Dho'if.
Imam Bukhori berkata: Dho'if.
Imam Nasa'i berkata: Dho'if.
Ibn Jauzi memasukan Abu Muthi' dalam kitab Dhu'afa.
Imam Ahmad berkata: Sebaiknya tidak meriwayatkan apapun dari Abu Muthi'.
Abu Dawud berkata: Tinggalkanlah haditsnya.
Ibn Adi berkata: Abu Muthi' jelas dho'ifnya. Kebanyakan riwayat darinya tidak boleh diikuti.
Ibn Hibban berkata: Abu Muthi' adalah tokoh murji'ah.
Al-Uqoili berkata: Abdulloh Bin Ahmad berkata, saya bertanya kepada ayahku terkait Abu Muthi' Al-Balkhy, maka ayahku menjawab: Sebaiknya tidak meriwayatkan apapun dari Abu Muthi'.

Keterangan serupa juga dijelaskan oleh Adzdzahabi dalam Mizanul I'tidal {1/574}

Ibn Sa'ad dalam kitab Thobaqot Kubro {7/374} berkata: "Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy adalah seorang murji'ah. Menurut ulama dia dho'if dalam hadits.

Khotib Al-Baghdadi dalam kitab Tajridul Asma {1/168} berkata: "Abu Muthi’ adalah (perowi) dho'if."

Dalam kitab Dhu'afa Al-Uqoili {1/256} dikatakan: "Muhammad Bin Ahmad bercerita kepada ku, Mu'awiyah Bin Sholih bercerita kepada ku, dia berkata' Yahya berkata: "Abu Muthi’ Al Balkhiy adalah (perowi) dho'if."

Dari komentar para ulama terkait Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy dapat disimpulkan bahwa dia adalah perowi yang dho'if; kebanyakan riwayatnya tidak boleh diikuti karenanya sebaiknya tidak meriwayatkan apapun darinya. 

Jika demikian, lalu bagaimana Wahhabi menjadikan riwayat Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy sebagai sumber klaim tentang aqidah Imam Abu Hanifah? Apakah anda akan menggunakan riwayat dho'if untuk aqidah anda?

Kita tahu bahwa selama ini wahhabi paling anti terhadap riwayat Dhoif sekalipun untuk masalah fadhoil a'mal. Lalu mengapa untuk masalah aqidah mereka menggunakan riwayat dho'if? Jawab wahhai Wahhabiyuun????

Comments

Popular posts from this blog

Nabi Muhammad Mempersaudarakan Muhajir dan Anshor

Persaudaraan  Muhajir dan Anshor Madinah yang saat itu bernama Yatsrib merupakan fase  baru  dalam hidup Nabi Muhammad . Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan  kepala  sebagai  tanda  hormat  dan  rasa  kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib - tanah airnya yang baru - ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang  sebelum  itu  di  seluruh  wilayah  Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada. Sekarang Nabi Muhammad bermusyawarah dengan kedua wazirnya  Abu  Bakr dan  Umar  -  demikianlah  mereka dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang  mula-mula  ialah  menyusun barisan  kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala  bayangan  yang  akan  membangkitkan  api permusuhan  lama di kalangan mereka itu. Strategi Nab

Melaksanakan Sholat Jum'at Di Jalan Raya, Bagaimana hukumnya?

Persoalan Melaksanakan Sholat Jum'at Di Jalan Raya, saat ini banyak dibicarakan di medsos. Mereka mencoba menjawab pertanyaan Bagaimana hukumnya? Ilustrasi Jawaban Tidak ada yang mensyaratkan sholat jum'at harus di dalam masjid selain madzhab Maliki. Madzhab Syafii yang diikuti oleh mayoritas warga Indonesia, tidak melarang sholat jum'at di luar masjid. Itu artinya, sholat jum'at di jalan raya tetap sah. Berikut ta'bir dalam kitab-kitab madzhab syafii: قال في حاشية الشرواني على تحفة المنهج قول المتن في خطة أبنية...... الخ اي وان لم تكن في مسجد. اھ وقال في مغني المحتاج على المنهاج ص ٤١٧ جز اول في قول المتن( أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمّعين) اي وان لم تكن في مسجد. اھ وقال في شرح المحلي على المنهاج ص ٢٧٢ جز اول   في قول المتن ( أن تقام في خطّة أبنية أوطان المجمّعين) لأنها لم تقم في عصر النّبيّ صلى اللّه عليه وسلّم والخلفاء الراشدين إلاّ في مواضع الإقامة كما هو معلوم وهي ما ذكر سواء فيه المسجد والدّار والفضاء ..اھ قال

Tafsir Surat An-Nisa : 47 Tentang Hari Sabtu

Tafsir Surat An-Nisa : 47 Tentang Hari Sabtu , - Dalam al-quran, diahir surat anisa’ ayat 47 terdapat kalimat (yang artinya) “atau kami laknat mereka sebagaimana kami melaknat orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari sabtu...” Di sana terdapat kalimat hari sabtu dan tentunya ini melahirkan pertanyaan tentang hari sabtu dan itulah yang ditanyakan oleh member grup Fiqih Madzhab Syafi’i yang saya dirikan di facebook. Berikut pertanyaan tentang Tafsir Surat An-Nisa Ayat 47 Tentang Hari Sabtu. Alam Poetra Losariez السلا م عليكم .... Mohon penjelasan para alim,ustadz,ustadzah . Dalam surat an_nisa ayat 47 (d terakhir surat )yangg ber bunyi : ٠٠٠٠اونلعنهم كما لعنا اصحب السبت وكان امرالله مفعولا(٤٧) “... ataw kami laknat mereka sebagaimana kami melaknat orang-orang(yang berbuat maksiat) pada hari sabat(sabtu).dan ketetapan bagi allah pasti berlaku(Q,S an_nisa ayat 47) Pertanyaannya ... : ada apa dengan hari sabtu ? apakah hari sabtu hari yang d istimewakan a